Oleh : MiZ
Seumur hidup aku tidak pernah
terkejut. Tidak ada kata terkejut dalam kamus kehidupanku. Semenjak lahir
sampai sekarang tidak pernah sekalipun aku terkejut. Disaat teman-teman
sekelasku terkejut karena pelajaran yang dimaknai Mustahiq
hari ini dua kali lipat dari biasanya, aku biasa saja. Disaat teman-teman
sekelasku terkejut karena tiba-tiba disuruh setoran nadzom, aku biasa saja.
Disaat ada orang secara tiba-tiba menepuk punggungku dari belakang, aku biasa
saja. Karena aku tidak pernah terkejut.
***
Waktu SMP dulu, aku pernah
ditertawakan oleh seluruh anak di kelasku. Penyebabnya sederhana. Ketika
disuruh maju untuk perkenalan siswa baru, aku berkata kalau hobiku adalah
tidur. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Memang apa salahnya dengan hobi
tidur?
“Kamu
ini! Hobi itu harusnya sesuatu yang lebih bermanfaat, dong. Bukan tidur.” Bu
guru menasehatiku seraya menahan tawa.
Aku
mengangkat bahu. Mereka bisa tertawa seenaknya karena tidak tahu rahasiaku. Rahasia
kenapa aku hobi tidur.
***
Perlahan mataku terbuka. Cahaya
matahari menerobos melalui jendela kamar. Kulihat jam di dinding Pukul 10 pagi.
Dengan malas kubangunkan tubuhku. Satu jam lagi saatnya musyawaroh.
Kupandangi langit-langit kamar yang
kusam. Barusan aku bermimpi. Setelah musyawaroh berakhir pada pukul satu,
seluruh teman sekelasku melempariku dengan tepung terigu, lalu ramai-ramai
melemparkanku kedalam jeding kobok di samping kelas. Mereka melakukan semua itu
diiringi dengan lagu “happy birthday to you”.
Mengingat mimpi barusan membuatku
malas untuk berangkat musyawaroh hari ini. Lebih enak tiduran di kamar.
Baiklah, akan kuminta Fuad mengizinkanku pada Bapak
Mustahiq
nanti. Alasan demam memang sudah pasaran, tapi sepertinya bakal manjur. Apalagi
ini hari ulang tahunku.
***
“Kenapa
kau nggak berangkat musyawaroh tadi siang, Wan?” Zaki bertanya padaku di saat istirahat
sekolah.
“Aku
tidak enak badan. Demam.” Jawabku
pendek.
“Kau tahu? Kau ini beruntung banget.
Padahal tadi anak-anak sudah siap menyirammu dengan tepung untuk ngerayain
ulang tahunmu.”
Aku tersenyum. Tentu
saja aku tahu. Aku sudah melihat kejadian itu di dalam mimpiku. Inilah alasan
kenapa seumur hidup aku tidak pernah terkejut. Inilah rahasia kenapa aku hobi
tidur. Aku bisa melihat masa depan melalui mimpi.
***
Nafasku tersengal-sengal. Keringat
mengalir di seluruh tubuhku, membasahi kaos yang kupakai. Kugeleng-gelengkan
kepalaku. Kulihat jam di dinding. Pukul empat seperempat dini hari.
Kubangunkan tubuhku. Mengambil segelas
air putih dari galon dan seketika menghabiskannya. Kucoba mengatur nafasku.
Bohong. Ini tidak mungkin terjadi.
Barusan aku bermimpi. Dalam mimpi
itu kulihat tubuhku masih tertidur di kamar, padahal waktu subuh sudah hampir
habis. Teman-teman sekamarku menggoyang-goyang tubuhku, berusaha membangunkan.
Namun digoyang beberapa kali tubuh itu tetap terdiam.
Melihatku yang tidak bergerak bagai
patung, iseng Fuad menyentuh leherku. Lalu dia menjerit sampai membangunkan
anak-anak yang melanjutkan tidur setelah sholat subuh. Mereka bertanya kenapa
Fuad berteriak. Dengan ekspresi ketakutan Fuad menjawab. Aku sudah mati.
***
Pelajaran Alfiyyah ibnu Malik yang
dijelaskan oleh Zaki saat musyawaroh siang itu tidak ada yang masuk dalam
otakku. Pikiranku masih dipenuhi mimpiku tadi subuh.
Ini tidak mungkin terjadi. Aku tidak
mungkin mati secepat ini. Umurku masih terlalu muda. Masih banyak cita-cita
yang ingin kucapai. Masih banyak kenikmatan dunia yang belum kurasakan. Apalagi
aku belum menikah!
Tapi selama ini mimpiku tidak pernah
meleset. Berkali-kali aku telah membuktikannya. Sejak kecil mimpi-mimpiku
selalu memberi tahu masa depanku dengan tepat. Tidak pernah sekalipun
berbohong. Jadi, hari ini adalah hari terakhirku sebelum dikunjungi malaikat
maut. Besok subuh aku akan mati.
***
Siang itu aku menelepon rumah.
Dengan air mata berceceran aku meminta maaf atas semua kelakuanku pada kedua
orang tuaku. Mereka bertanya kenapa tiba-tiba aku meminta maaf. Aku menjawab
tidak ada apa-apa.
Tadi, sebelum musyawaroh berakhir
aku maju kedepan kelas. Dengan suara lantang aku mengucapkan permintaan maaf
pada seluruh anak di kelas. Sontak mereka tertawa, menganggapku bercanda. Namun
ketika melihat mataku yang mengalirkan air mata, tawa mereka terhenti.
“Kamu
nggak apa-apa, Wan?” Zaki bertanya
simpati padaku.
Aku
menggeleng, lalu segera keluar kelas begitu lonceng berbunyi.
***
Suara isak tangisku memenuhi ruang
tamu Abah Kyai. Sore itu aku memutuskan untuk sowan kepada Pengasuh
Pondok
Pesantren
ini. Kubuka semua tentang rahasia mimpiku kepada beliau. Kuceritakan mimpi yang
menghantuiku sepanjang hari ini kepada beliau.
Setelah beberapa jenak hanya
terdengar suara tangisanku, tangan sepuh beliau menepuk lembut pundakku.
“Sedekahkan semua uangmu. Setidaknya
itu bisa menjadi bekal untukmu.” Abah Kyai berkata lembut.
Seketika tangisku makin menjadi-jadi
demi mendengar perkataan beliau. Sepontan kupeluk erat tubuh beliau untuk
terakhir kalinya.
***
Malam harinya, sebelum beranjak
tidur kukumpulkan seluruh anggota kamar ini. Aku meminta maaf kepada mereka
semua dan mensedekahkan seluruh uang yang kumiliki. Mereka langsung bersorak
gembira. Berkata kalau sudah memaafkan semua kesalahanku sambil menikmati mayoran
ayam goreng plus sambal penyet dadakan.
***
Setelah pesta ayam goreng tadi
kubaringkan tubuhku diatas sajadah.
Akhirnya sebentar lagi waktuku akan habis. Untuk terakhir kali, aku
bersyukur kepada tuhan yang telah memberikan hidup yang istimewa ini.
***
“Subuh!
Subuh! Bangun!”
Teriakan anak-anak kamarku
membangunkanku. Kulihat jam di dinding, pukul setengah lima. Barusan aku
bermimpi bertemu Abah Kyai. Beliau tesenyum kepadaku. Indah sekali. Bagaikan
bulan purnama tanggal lima belas.[]
0 comments: