Selasa, 14 September 2021

Cerpen: Aku Mati Hari Ini

 


Oleh : MiZ

            Seumur hidup aku tidak pernah terkejut. Tidak ada kata terkejut dalam kamus kehidupanku. Semenjak lahir sampai sekarang tidak pernah sekalipun aku terkejut. Disaat teman-teman sekelasku terkejut karena pelajaran yang dimaknai Mustahiq hari ini dua kali lipat dari biasanya, aku biasa saja. Disaat teman-teman sekelasku terkejut karena tiba-tiba disuruh setoran nadzom, aku biasa saja. Disaat ada orang secara tiba-tiba menepuk punggungku dari belakang, aku biasa saja. Karena aku tidak pernah terkejut.

***

            Waktu SMP dulu, aku pernah ditertawakan oleh seluruh anak di kelasku. Penyebabnya sederhana. Ketika disuruh maju untuk perkenalan siswa baru, aku berkata kalau hobiku adalah tidur. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Memang apa salahnya dengan hobi tidur?

            “Kamu ini! Hobi itu harusnya sesuatu yang lebih bermanfaat, dong. Bukan tidur.” Bu guru menasehatiku seraya menahan tawa.

            Aku mengangkat bahu. Mereka bisa tertawa seenaknya karena tidak tahu rahasiaku. Rahasia kenapa aku hobi tidur.

***

            Perlahan mataku terbuka. Cahaya matahari menerobos melalui jendela kamar. Kulihat jam di dinding Pukul 10 pagi. Dengan malas kubangunkan tubuhku. Satu jam lagi saatnya musyawaroh.

            Kupandangi langit-langit kamar yang kusam. Barusan aku bermimpi. Setelah musyawaroh berakhir pada pukul satu, seluruh teman sekelasku melempariku dengan tepung terigu, lalu ramai-ramai melemparkanku kedalam jeding kobok di samping kelas. Mereka melakukan semua itu diiringi dengan lagu “happy birthday to you”.

            Mengingat mimpi barusan membuatku malas untuk berangkat musyawaroh hari ini. Lebih enak tiduran di kamar. Baiklah, akan kuminta Fuad mengizinkanku pada Bapak Mustahiq nanti. Alasan demam memang sudah pasaran, tapi sepertinya bakal manjur. Apalagi ini hari ulang tahunku.

***

            “Kenapa kau nggak berangkat musyawaroh tadi siang, Wan?”  Zaki bertanya padaku di saat istirahat sekolah.

            “Aku tidak enak badan. Demam.”  Jawabku pendek.

            “Kau tahu? Kau ini beruntung banget. Padahal tadi anak-anak sudah siap menyirammu dengan tepung untuk ngerayain ulang tahunmu.”

            Aku tersenyum. Tentu saja aku tahu. Aku sudah melihat kejadian itu di dalam mimpiku. Inilah alasan kenapa seumur hidup aku tidak pernah terkejut. Inilah rahasia kenapa aku hobi tidur. Aku bisa melihat masa depan melalui mimpi.

***

            Nafasku tersengal-sengal. Keringat mengalir di seluruh tubuhku, membasahi kaos yang kupakai. Kugeleng-gelengkan kepalaku. Kulihat jam di dinding. Pukul empat seperempat dini hari.

            Kubangunkan tubuhku. Mengambil segelas air putih dari galon dan seketika menghabiskannya. Kucoba mengatur nafasku. Bohong. Ini tidak mungkin terjadi.

            Barusan aku bermimpi. Dalam mimpi itu kulihat tubuhku masih tertidur di kamar, padahal waktu subuh sudah hampir habis. Teman-teman sekamarku menggoyang-goyang tubuhku, berusaha membangunkan. Namun digoyang beberapa kali tubuh itu tetap terdiam.

            Melihatku yang tidak bergerak bagai patung, iseng Fuad menyentuh leherku. Lalu dia menjerit sampai membangunkan anak-anak yang melanjutkan tidur setelah sholat subuh. Mereka bertanya kenapa Fuad berteriak. Dengan ekspresi ketakutan Fuad menjawab. Aku sudah mati.

***

            Pelajaran Alfiyyah ibnu Malik yang dijelaskan oleh Zaki saat musyawaroh siang itu tidak ada yang masuk dalam otakku. Pikiranku masih dipenuhi mimpiku tadi subuh.

            Ini tidak mungkin terjadi. Aku tidak mungkin mati secepat ini. Umurku masih terlalu muda. Masih banyak cita-cita yang ingin kucapai. Masih banyak kenikmatan dunia yang belum kurasakan. Apalagi aku belum menikah!

            Tapi selama ini mimpiku tidak pernah meleset. Berkali-kali aku telah membuktikannya. Sejak kecil mimpi-mimpiku selalu memberi tahu masa depanku dengan tepat. Tidak pernah sekalipun berbohong. Jadi, hari ini adalah hari terakhirku sebelum dikunjungi malaikat maut. Besok subuh aku akan mati.

***

            Siang itu aku menelepon rumah. Dengan air mata berceceran aku meminta maaf atas semua kelakuanku pada kedua orang tuaku. Mereka bertanya kenapa tiba-tiba aku meminta maaf. Aku menjawab tidak ada apa-apa.

            Tadi, sebelum musyawaroh berakhir aku maju kedepan kelas. Dengan suara lantang aku mengucapkan permintaan maaf pada seluruh anak di kelas. Sontak mereka tertawa, menganggapku bercanda. Namun ketika melihat mataku yang mengalirkan air mata, tawa mereka terhenti.

            “Kamu nggak apa-apa, Wan?”  Zaki bertanya simpati padaku.

            Aku menggeleng, lalu segera keluar kelas begitu lonceng berbunyi.

***

            Suara isak tangisku memenuhi ruang tamu Abah Kyai. Sore itu aku memutuskan untuk sowan kepada Pengasuh Pondok Pesantren ini. Kubuka semua tentang rahasia mimpiku kepada beliau. Kuceritakan mimpi yang menghantuiku sepanjang hari ini kepada beliau.

            Setelah beberapa jenak hanya terdengar suara tangisanku, tangan sepuh beliau menepuk lembut pundakku.

            “Sedekahkan semua uangmu. Setidaknya itu bisa menjadi bekal untukmu.” Abah Kyai berkata lembut.

            Seketika tangisku makin menjadi-jadi demi mendengar perkataan beliau. Sepontan kupeluk erat tubuh beliau untuk terakhir kalinya.

***

            Malam harinya, sebelum beranjak tidur kukumpulkan seluruh anggota kamar ini. Aku meminta maaf kepada mereka semua dan mensedekahkan seluruh uang yang kumiliki. Mereka langsung bersorak gembira. Berkata kalau sudah memaafkan semua kesalahanku sambil menikmati mayoran ayam goreng plus sambal penyet dadakan.

***

            Setelah pesta ayam goreng tadi kubaringkan tubuhku diatas sajadah.  Akhirnya sebentar lagi waktuku akan habis. Untuk terakhir kali, aku bersyukur kepada tuhan yang telah memberikan hidup yang istimewa ini.

***

            “Subuh! Subuh! Bangun!”

            Teriakan anak-anak kamarku membangunkanku. Kulihat jam di dinding, pukul setengah lima. Barusan aku bermimpi bertemu Abah Kyai. Beliau tesenyum kepadaku. Indah sekali. Bagaikan bulan purnama tanggal lima belas.[]

 

Previous Post
Next Post

0 comments: