Selasa, 28 September 2021

Carpe Diem, Far!


Oleh : MiZ

Jikalau bicara adalah perak, maka diam adalah emas.”

            Cahaya mentari menerobos celah-celah dedaunan di atas pohon yang mengalun pelan diterpa angin. Sore itu, aku termasuk dari barisan santri-santri yang antre di kamar mandi. Dengan pandangan mata yang masih agak kabur karena baru bangun tidur, kulihat jumlah antrean dan memperkirakan kecepatan mandi tiap santri. Sepertinya giliranku akan tiba 15 menit lagi. Kuputuskan untuk berjongkok, ikut mengantre seraya mengumpulkan nyawaku yang masih melayang-layang entah kemana.

            “Bro, lihat tuh didalam bilik nomer 3!”

            Telingaku tanpa sengaja menangkap sepotong percakapan. Kupandang arah kiriku. Dua orang santri sedang asyik membuat majelis rasan-rasan (gosip) karena bosan menunggu giliran. Santri yang mengawali muqodimah tadi berpostur tegap bak tembok. Sementara kawannya bertubuh pendek bagai anak TK.

            “Memangnya kenapa, bro?” Tanya si Pendek setelah melihat siapa santri yang sedang asyik di bilik nomer 3. Sebagai tambahan, biar kalian nggak salah paham, bilik kamar mandi yang sedang ramai ini tingginya hanya sebatas dada orang dewasa, sehingga tanpa perlu mengintip kalian bisa tahu siapa yang berada didalam bilik.

            “Bocah itu pendiam banget, jarang kumpul sama anak-anak.” Si Tegap menjawab dengan nada sebal.

            “Mosok tho, bro?” Si Pendek bertanya kembali, meminta taukid (penegasan).

            “Iyo, bocah itu nggak pernah di kamar. Sehari-harinya selalu di pondok induk atau di masjid.”

            Awalnya aku cuma menganggap percakapan dua santri disebelahku ini sebagai angin lalu, tapi entah kenapa kedua mataku ikut penasaran dan perlahan melihat santri yang sedang asyik mandi di bilik nomer 3 itu.

            Ah, ternyata itu kau. Kalau tidak salah kau pertama kali datang ke pondok ini setelah liburan maulud kemarin, kan? Dan kalau kupikir lebih dalam, kau mengingatkanku pada diriku di masa lalu. Pendiam, tenang dan serius. Itulah dirimu, Far.

***

            Tahukah kau, Far? Kalau melihatmu, aku bagai menatap sepotong cermin yang menampakkan pantulan diriku. Sama sepertimu, sejak kecil aku selalu dicap sebagai anak yang pendiam. Kalau semisal ada lembaga survei yang meminta orang-orang yang mengenalku untuk menentukan apakah aku ini seorang yang pendiam, standar, atau cerewet, maka kuyakin 99 persen dari mereka akan memilih pilihan pertama.

            Aku masih ingat, waktu kelas 1 SD dulu ketika kelas kami gaduh oleh celotehan, permainan dan guyonan, wali kelas kami menyuruh kami diam. Lalu beliau berkata,“jangan ramai-ramai saat pelajaran. Kalian tiru si MiZ dan Edi itu. Mereka selalu diam dan tenang.”

            Omongan wali kelas itu hanya bertahan beberapa minggu untuk si Edi, karena beberapa hari setelah itu dia terkenal sebagai biang guyonan di kelas. Namun dalam kasusku, perkataan wali kelas kami itu terus bertahan sampai hari ini. Meskipun setidaknya setelah mondok ini sifat pendiamku berkurang sebesar 3 persen.

***

            Far, kalau kau mendengar rasan-rasan (gosipan) mereka berdua janganlah khawatir. Tak usahlah kau bersusah payah merubah sifatmu. Tetaplah teguhkan dirimu yang pendiam. Karena dalam diam terdapat berjuta rahasia yang tersembunyi bagaikan mutiara di dasar lautan. Dan sebagai sesama pribadi yang pendiam, akan kubagikan padamu beberapa rahasia itu. Pasang telingamu dan dengarkanlah baik-baik!

***

            Besok, kalau kau sudah menginjak kelas 2 tsanawiyyah, kau akan berjumpa dengan sebuah kitab hadits agung nan legendaris, Arba’in Nawawi. Pengarangnya adalah seorang ulama’ besar mazhab Syafi’i, Syekh Yahya bin Syarof An-Nawawi. Kau tahu? Konon jumlah seluruh kitab karangan beliau melampaui jumlah usia beliau sendiri. Nah, pada bab 15 dari kitab Arba’in kau akan menemui sebuah hadits yang akan membuat hatimu bangga menjalani hidup sebagai seorang pendiam. Inilah haditsnya:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam saja.”

            Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Jordany dalam kitab syarah Arba’in Nawawi beliau yang berjudul Jawahirul Lu’luiyyah membeberkan sedikit maksud dari hadits diatas: Lakukanlah perilaku orang-orang yang sempurna imannya, yaitu mengucapkan perkataan yang baik perkataan yang menghasilkan pundi-pundi pahala, dan menghindari mengucapkan perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan. Bahkan jauhilah perkataan yang dimubahkan, karena hanya akan membuang-buang waktu. Hal ini selaras dengan hadits yang tertulis di bab 12 kitab Arba’in:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

“Sebagian dari tanda kualitas baiknya islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.”

            Tentang hadits diatas Syekh Abi Bakr bin ‘Iyadh berkata, “Keuntungan minimal dari diam adalah keselamatan. Sedangkan kerugian terkecil dari perkataan adalah sebuah penyesalan.”

            Karena keutamaan & manfaat dari sifat pendiam itu begitu besar, maka muncullah istilah carpe diem. Diam itu emas.

***

            Hei Far, tahukah kau kenapa tuhan menciptakan untuk manusia sepasang telinga dan sepotong mulut? Itu agar manusia itu lebih banyak mendengar daripada bicara.

Previous Post
Next Post

0 comments: