Featured Post
Inilah serunya kebersamaan pada hari Idul Adha di pondok pesantren yang tidak akan bisa didapatkan di rumah. #santri sehat indonesia kuat #p...
Continue readingSelasa, 07 November 2023
KEMERDEKAAN DAN PENGORBANAN
KEMERDEKAAN DAN PENGORBANAN
Merdeka... Merdeka.. Merdeka..
Kata itu sering kita dengar atau kita ucapkan di hari besar nasional seperti
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI Bahkan bukan di hari besar nasional saja, di hari
besar Islam pun seperti Hari Santri Nasional 22 Oktober. Kata itu sering kita
dengar atau ucapkan, benar bukan..?
Karena kemerdekaan RI itu tidak bisa lepas dari campur tangannya para alim ulama seperti tercetusnya Resolusi Jihad yang menyatakan bahwa membela tanah air itu hukumnya wajib. Di acara maulidan juga sering kita dengar atau ucapkan, seperti yang telah saya ikuti di desa Silebu kecamatan Pancalang Kabupaten Kuningan di sana setiap tahunnya terdapat agenda maulidan yang dihadiri oleh Al-Habib Al-Mursyid Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya dan murid-muridnya dari Pekalongan. Beliau selalu mengangkat tema NKRI Harga Mati dan mendawuhkan untuk mempertahankan Kemerdekaan NKRI disamping mengaji fikih atau lainnya juga.
Tapi, apakah kita tahu apa artinya merdeka? Dan apa pula arti kemerdekaan? Lalu apakah dalam mencapai kemerdekaan itu perlu pengorbanan? Disini saya akan mengemukakan pendapat. Yang setuju ya… syukur. Yang tidak setuju ya... tidak apa-apa setiap orang berhak untuk berpendapat.
Merdeka
artinya bebas (Free, Inggris). Contoh: Negara merdeka, berarti negara itu telah
bebas dari penjajahan atau penindasan negara lain. Orang merdeka (bukan hamba
sahaya) berarti orang itu telah bebas dari tuan atau majikannya.
Kemerdekaan
berarti kebebasan (Freedom, Inggris). Berati kita boleh melakukan apapun yang
kita mau agar kita untung, biarlah orang lain yang menanggung ruginya karena
kita telah mendapatkan kemerdekaan (kebebasan).
Hahaha, tentu tidak. Jika itu terjadi, maka akan merusak kemerdekaan yang telah diraih. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan menjalani hidup dengan damai, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berpolitik, kebebasan menentukan pilihan, kebebasan beragama, dan kebebasan lain-lain yang menyangkut hak-hak kita sebagai manusia tanpa merusak, mengganggu atau menghilang hak-hak orang lain atau yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Sekarang masuk ke pembahasan pengorbanan. Apakah kemerdekaan butuh pengorbanan? Tentunya sangat butuhlah... Jangankan kemerdekaan yang cakupannya negara, untuk pribadi saja butuh pengorbanan. Contohnya, jika kita ingin mendapatkan ilmu, kita harus mengorbankan waktu, tenaga dan lainya. Bukan hanya kita, orang tua pun harus berkorban untuk membiayai kita disamping harus mencukupi kebutuhan mereka juga.
Untuk memperjuangkan kemerdekaan, para pahlawan kita telah mengorbankan harta, pikiran ataupun tenaga. Tidak hanya itu, anak, istri, keluarga, bahkan nyawa pun mereka korbankan demi kemerdekaan Republik Indonesia. Nah sekarang, apakah kita harus mengangkat senjata, mengorbankan harta atau nyawa? Tidak, sekarang kita tinggal mempertahankan kemerdekaan saja. Sebagai santri, kita cukup belajar dengan sungguh-sungguh dan nurut kepada masyayikh-masyayikh kita.
Karena jika tidak begitu, lalu siapa yang akan menggantikan para alim ulama dimasa depan nanti? Jika tidak ada penerusnya, maka siapa yang akan menasehati para pemimpin bangsa agar memimpin dengan baik? Jika tidak ada pemimpin bangsa yang memimpin dengan baik, lambat laun bangsa ini akan dijajah atau dirusak oleh rakyatnya sendiri ataupun pemimpin yang diperkuda oleh jabatanya. Selain itu penjajah zaman sekarang ini, menjajah melalui teknologi dan budaya, tidak menggunakan senjata.
Jadi kemerdekaan itu memang sangat membutuhkan pengorbanan Kitapun harus mengorbankan waktu bermain kita untuk belajar sungguh-sungguh, karena itu adalah salah satu cara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. (el-muta'allimy)
Senin, 06 November 2023
Jumat, 11 Agustus 2023
Tradisi Ngrowot di Pondok Pesantren
Oleh: M. Kurnia Mardhika
Pondok pesantren tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu agama,
merekonstruksi karakter, namun juga menjernihkan hati. Spirit positif ini perlu
untuk digali oleh santri melalui tirakat untuk mengaktualisasikan diri baik
secara fisik maupun batin. Santri juga terbiasa dengan amalan-amalan dan tradisi
yang mindstreem dilakukan oleh orang-orang
pada umumnya, diantaranya adalah tradisi Ngrowot.
Ngrowot sudah
mentradisi dalam kehidupan manusia jawa tanpa diketahui secara pasti siapa
pencetusnya dan kapan ngrowot bermula. Dalam kajian bahasa, istilah ngrowot dibakukan menjadi
merowot, artinya berpantang makan nasi, hanya makan sayuran. Ngrowot
adalah budaya Jawa di bidang makanan, dimana seseorang tidak mengkonsumsi nasi
dan semua makanan yang terbuat dari beras demi mencapai tingkatan kehidupan
yang diinginkan, orang jawa berusaha menjalankan nasihat leluhur. Orang jawa
percaya dengan melakukan proses pengekangan keinginan, sebagai
gantinya pelaku atau penghayat ngrowot mengkonsumsi ubi-ubian, singkong,
thiwul, jagung dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi
pangan bahkan sebelum istilah ini marak diperkenalkankan.
Ngrowot memiliki arti yang berbeda bagi
setiap santri, ada yang mengartikannya sekedar proses transisi sumber makanan
pokok dari nasi ke selain nasi, ada yang memandangnya sebagai sebuah tradisi
yang harus dilestarikan, ada juga yang melihatnya sebagai ritual kuno yang
berbau mistis. Bagi santri, Ngrowot yang dimaknai sebagai media tazkiyah
al-nafs (Penyucian diri) adalah faktor yang mendukung tercapainya misi
mencari ilmu di pondok pesantren, karena ilmu akan mudah masuk pada
hati yang bersih. Aspek terpenting dari Ngrowot
adalah meniatinya semata-mata lillahi ta’ala, kerena allah ta’ala. Tanpa
adanya niat lillahi ta’ala, Ngrowot hanya sekadar menahan lapar.
Ngrowot bisa juga dimaknai menjauhi
kesenangan, seperti tidur disukai oleh orang pada umunya, maka ketika santri
meninggalkan tidur berarti secara esensi santri menjalankan tirakat ngrowot.
Pondok pesantren sebagai laboratorium perilaku merupakan tempat untuk
melakukan eksperimen yang hasilnya akan diimplementasikan di masyarakat, maka ngrowot
dalam perspektif ini memiliki esensi Qona’ah (penerimaan diri) yang
bermuara pada implementasi disetiap aspek kehidupan.
Santri
Ngrowot, meski sudah mengkonversi makanan pokok mereka dari nasi kepada
jagung, namun tidak berarti merubah semua ritual makan mereka. Seperti jam
makan, kebanyakan dari mereka menyesuaikan jam makan dengan aktifias mereka. Ngrowot
sebagaimana halnya salah satu bentuk tirakat dzohir dan batin mengharuskan para
santri memiliki izin dari mujiz atau Kyai.
Ngrowot ada tiga macam. 1) Telesan dalam bahasa indonesia artinya basah, ngrowot telesan
adalah ngrowot yang paling ringan, seseorang yang melaksanakan ngrowot telesan
biasanya hanya menghindari nasi saja. 2) Ngrowot Seretan atau seret, pada praktiknya sama
dengan ngrowot telesan namun terdapat perbedaan pada pantangan yaitu dilarang
memakan makanan yang memiliki ruh atau sesuatu yang keluar dari ruh seperti
telur, susu dan sejenisnya. Ngrowot ini
juga biasanya dibarengi dengan amalan yang lebih berat dari ngrowot telesan. 3) Ngrowot
Garingan atau keringan adalah ngrowot yang paling berat bibanding dengan dua
jenis ngrowot diatas. Seseorang yang menjalani Ngrowot Garingan hanya memakan makanan yang tidak lazim
dimakan oleh manusia pada ummnya dalam keadaan mentah atau tidak dimasak,
seperti KH.Ya’qub yang hanya memakan beberapa butir beras untuk berbuka, KH.
Abdul Karim pendiri PonPes Lirboyo yang hanya makan daun pace selama 40 tahun,
atau KH.Hamim Jazuli pendiri PonPes Ploso yang hanya memakan kulit semangka
setiap harinya. Ngrowot Garingan biasanya dibarengi dengan amalan yang berat
dan juga lama, seperti puasa naun, bila ruh, maupun dzikir ribuan.
Kebanyakan santri
meyakini bahwa Ngrowot memiliki empat manfaat; 1)‘ulumiyyah (ilmu
yang manfaat dan barakah), 2) ‘amaliyyah (ibadah lebih khusu dan media
memerangi hawa nafsu), 3) dzuriyyah (keturunan yang sholeh dan pintar
serta keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah), dan 4) maliyyah (bisa
menghemat dalam segi ekonomi).
Ngrowot sudah banyak dijadikan bahan penelitian.
Diantaranya dalam perspektif kemandirian pangan
dan energi berbasis pertanian, Budaya ngrowot meniadakan / mengurangi
ketergantungan pada beras yang membutuhkan infrastruktur mahal. Berarti juga
pendayagunaan sumberdaya lokal pekarangan yang bersifat tahan naungan, tegalan
dengan input rendah, dan bertujuan memenuhi kecukupan gizi dengan swadaya
lokal. Hal ini
menunjukan kebhinekaan negara kita dalam bidang sumber pangan.
Dalam Psikologi islam, pelaksanaan ngrowot
menunjukan pengolahan jiwa/psikis untuk mencapai tujuan hidup yang lebih
bermakna dari sekedar memenuhi kebutuhan fisik. Ngrowot juga merupakan
refleksi dari religiusitas dan konsep kesejahteraan eudaimonik dari santri
ngrowot, sehingga Ngrowot dapat menjadi metode meningkatkan kebahagaiaan/
kesejahteaan psikologis berbasis kultural dan islami.
Dalam Kajian Neurosains, Ngrowot membuat nalar
spiritual para santri lebih mandiri, sulit dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
asing yang tidak senapas dengan ajaran salafi Ngrowot menjadikan pelakunya
mengubah sejumlah sikap dan kebiasaan baru yang selaras dengan nilai-nilai karakter,
seperti zuhud dalam bersikap dan lembut dalam bertutur kata namun tetap optimis
dan penuh semangat.
Ngrowot hanyalah satu dari sekian banyak
warisan spiritual yang diestafetkan leluhur pondok pesantren kepada penerusnya,
tak heran jika hanya beberapa santri yang ngrowot, karena sisanya para santri
memilih untuk menjalankan tirakat lain yang sesuai dengan karakter dirinya,
seperti puasa mutih, gundul hari rabu, naun dan lainnya.
Kamis, 20 Juli 2023
Mentirakati Kemaslahatan Umat
Opini#Zafiroh
Yang
paling hebat dari Indonesia adalah para
“paku-paku” yang mampu menyatukan, menguatkan dan menyelaraskan berbagai
lapisan manusia yang beragam jenisnya itu di atas pulau-pulau yang dipisahkan
lautan yang seolah tak berujung ini. “Paku-paku” itulah yang menjadi barometer
baik atau buruknya suatu bangsa, merekalah ulama dan umara.
Membaca Ulama Umara dalam Sejarah
Dengan kecakapan Ulama kita ;mulai dari ulama
mushalla, ulama sosial media sampai majlis ulama Indonesia, yang multitalent
dalam membaca makna dan menentukan fatwa-fatwa, mengakulturasikan agama dengan
budaya, bahkan mempu membaca fenomena dari perkembangan zaman milenial ini
secara faktual dan aktual, rasanya tidaklah sulit membumikan berbagai syariat
agama Rahmatan lil ‘alamin ini di Indonesia, terlepas dari beragam
“jenis” ulama di Indonesia yang tak jarang meramaikan TV, kadang membuat naik
pitam, kadang jenaka membuat tawa tak ada hentinya, dan selalu bisa menyejukkan
hati-, kebhinekaan mereka dapat dinikmati hadirnya oleh berbagai
“jenis” umat di negeri ini.
Tak berhenti disana, ulama kita pun
sering mendahului para akademisi produk pendidikan barat, terlebih dalam
melakukan pendekatan dan menentukan sikap yang tepat untuk menghadapi keadaan
umat yang seba hirup-pikuk ini, seperti bentuk penjajahan karakter melalui
moderenisasi sosial media, dekadensi moral dan spiritual melalui gaya hidup
hedonis yang individualis dan materialis, pun ancaman perpecahan kebhinekaan
melalui penyebaran hoax, fitnah, fanatik golongan dan hal-hal primitif lainnya.
Jika barometer suksesnya ulama
adalah berhasil memerankan social control, katalisator, dan mobilisator
maka berhaklah beliau-beliau mendapat nilai Shahih, dan kesuksesan itu
tidak terlepas dari peran besar pemerintah dalam memberdayakan ulama kita.
Dalam sejarah Bangsa Indonesia,
tepatnya pada awal Oktober 1945, tak lama setelah perjuangan seluruh Bangsa
Indonesia menemukan muaranya saat kemerdekaan diproklamasikan, seluruh Ulama
Indonesia mengadakan Musyawarah Akbar di Surabaya untuk menentukan sikap atas
Kemerdekaan Indonesia.
Pertemuan yang dipimpin KH. Hasyim
Asy’ari ini menghasilkan dua butir fatwa: 1) Kemerdekaan Indonesia wajib
dipertahankan, 2) Pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya
pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta
pengorbanan harta dan jiwa. (Meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa).
Fatwa
ini mencakap energy persatuan Ulama dan Umara dengan sangsat dahsyat kepada
tiap-tiap jantung umat, agar kita semua bersatu, dan jangan ada pemerintahan
lain atau negara lain di tanah ini. Sekaligus memandatkan urusan pemerintahan
(Umara) kepada kepala negara saat itu (Ir.Soekarno) beserta seluruh jajarannya.
Jika
kita membaca fakta sejarah, maka akan kita temukan di negara yang menjadi
“lumbung ulama” seperti Afganista. Mesir, Irak, Iran, Yaman, Suriah dan
kebanyakan negara timur lainnya. Banyak pemerintahan yang kontra terhadap ulama
(jika sungkan menyebut ulama nasionalis kalah oleh pemerintah yang bukan
ulama atau karena ulama yang tidak nasionalis) sehingga banyak terjadi
perpecahan, perang antar-golongan, dan senjangnya kesejahteraan umat yang teidak terselesaikan.
[Pemerintah Republik Indonesia sebagai
satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun
meminta pengorbanan harta dan jiwa.]
Seperti yang dialami Imam Ibnu Hambal dan Imam
Syafi’I diakhir abad 7 Masehi oleh
Khalifah Al-Mu’tashim, A;-Makmun, dan Al-Wasith yang memberi hukuman penjara,
pengusiran, rajam sampai pembunuhan terhadap ulama yang enggan mengakui
Al-Quran itu hadist (hal yang baru). Atau pada abad 19 Masehi kemarin ada
Muammar Kadafi, Sadam Husain sampai Mustafa Kamal Atatturk yang mengesampingkan
Islam, melarang adzan melalui spiker, menutup halaqah tarekat sampai
membubarkan madrasah dan majlis ta’lim.
Fakta
itu sangat autentik (sharih)
menjadi dalil bahwa sinergi ulama dan umara membina umat adalah keniscayaan
yang wajib hukumnya jika menginginkan tatanan negara yang maslahat
Sebuah Peran, Tantangan dan Pantangan
Dalam
(QS. Al-Nisa’ ayat 59) perintah untuk mentaati Ulil Amr (selama tidak
memerintahkan maksiat dan perkara yang diharamkan syariat) berada setelah
perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dalam tafsirnya, Ibnu Abbas menafsiri Ulil
Amr dengan Ulama, Al-Thabari menafsiri Ulil Amr dengan para Ahli
Fiqih dan Ulama ahli agama. Dalam kitab Fathul Qodir, Ulil Amr adalah
setiap orang yang menguasai suatu wilayah yang berlaku hokum syariat didalamnya
maka termasuk pula Presiden, Gubernur, Walikota, Pak RT dan Pak RW. Dalam
Tafsir Ibnu Mundzir, Ulil Amr diartikan sebagai Umara, dari sini tidak
perlu ada perdebatan lagi siapakah Ulil Amr itu (meraka adalah ulama dan
umara).
Dua
hal positif dari pemisahan itu adalah; 1) Dalam memproduksi fatwa para ulama
tidak terkontaminasi oleh politik pemerintahan. 2) Posisi ulama tidak
tergantung nasib lembaga pemerintahan, artinya saat pemerintahan jatuh maka
posisi ulama tidak ikut jatuh.
Dalam
praktiknya umara pun jangan berhenti hanya sebagai fasilitor dalam memenuhi
semua kebutuhan perangkat ulama dalam membumikan “rahmatan lil ‘alamin”,
begitupun ulama tak boleh berhenti hanya sebagai katalisator dan mobilisator
yang bergantung pada fasilitas umara. Andai demikian, mungkin saja umara
memfasilitasi ulama hanya pada musim-musim pemilihan (kalau tidak sekedar
mencari citra), bisa juga ulama ogah-ogahan mendidik umat yang
macam-macam “jenisnya” ini, bahkan saling nebeng hanya agar ulama
menjadi tenar dan umara dipandang benar.
Maka
dalam sinergi ini dibutuhkan adanya kedewasaan, kesadaran dan kerja sama yang
benar-benar diikhtiari oleh ulama dan umara. Dan dalam perjalanannya hubungan
ulama dan umara janganlah sekedar shahih (relasi), apalagi musuh
(‘adduw) namun haruslah sampai menjadi habib (senagnketika yang satu senang,
susah ketika yang satu susah, merasuk kecintaannya smapai kepada setiap bagian
yang ada pada yang lain –kecuali keburukannya- dan rela memberikan yang
dimilikinya untuk yang lain). Sehingga dapat saling menguatkan saat yang satu
mulai melemah, saling menjaga saat yang lain diserang dan saling berwasiat
dalam kebenaran dan kesabaran untuk mencapai tujuan utama yaitu kemaslahatan
yang universal (bagi seluruh rakyat Indonesia) dan unlimited (kemaslahatan
sampai di akhirat sana).
[“Sinergi Ulama dan Umara adalah keniscayaan
yang wajib hukumnya jika menginginkan tatanan negara yang maslahat]
Yang Sering Terlupa dalam Mentirakati Kemaslahatan Umat
Setelah
merdeka, mentirakati kemaslahatan umat lebih tepat dimaknai “menjaga”.
Namun dalam konsep “Sinergi ulama dan Umara” yang keren ini, ada komponen yang
sering terlupa –jika tidak ingin menyebut sengaja melupakan diri sendiri sebab kebanyakan
mengingat dan memikirkan aib-aib yang lain- yaitu Umat itu sendiri.
Bukanlah
Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubah
dirinya? Maka sinergi bukan hanya kewajiban ulama dan umara namun juga
kewajiban umat, khususnya yang tidak merasakan beratnya (fitnah) menjadi umara
dan sulitnya (sabar) menjadi ulama.
Sebagai
umat, marilah menjalankan kewajiban umat, taat kepada Ulil Ami-nya,
mendukung dan mengambil bagian dari
berbagai pembangunan bangsa.
Mulai
dari memperbaiki diri sendiri saja, seperti belajar dengan sungguh-sungguh,
bukankah itu sama dengan meringankan beban satu orang dari tanggungan mereka
untuk mencerdaskan bangsa, tanpa meletihkan pikiran pada bagaimana cara terbaik
mengadu domba, atau menghabiskan kuota untuk menyebar hoax dan sensasi semata,
yang pada akhirnya hanya menambah pusing ulama dan umara.
Jangan
mengurusi urusan yang lain atau (kalau dipegang oleh yang bukan ahlinya)
tunggulah kehancurannya! Maka mari sambut setiap silaturrahim umara ke ulama
-pun sebaliknya- dengan pandangan positif (husnul dzan) tanpa berujar “halaah
politik!”
Semoga
saja dari sana terjalin sinergi dan menghasilkan (tajdiidul ghirroh
likhidmatil ummah) semangat yang ter-refresh untuk kembali mentitrakati
kemaslahatan ummat. Untuk kemaslahatan kita.
Kamis, 01 September 2022
Merdeka Dari Penjajah, Merdeka Dari Hoax
Merdeka
Dari Penjajah, Merdeka Dari Hoax
Oleh:Mohammad
Rafli(HY 18)
Menjalankan
kehidupan,pasti membutuhkan perjuangan.Dibalik ketenangan yang kita rasakan,ada
pengorbanan tulus yang diberikan.hilangnya penjajah bukan berarti tak adanya
lagi masalah.Hingga saat ini perlawanan masih harus dilakukan.,tetapi bukan
lagi penjajah sebagaimana dahulu, melainkan oknum yang mencoba mengelabuhi fakta
sosial demi sebuah kepentingan,atau hanya untuk sekedar sebuah hiburan,namun
hiburan yang merugikan.Pasalnya,itu semua didasari oleh kebohongan.
Kegigihan dalam
membentengi diri,agar tidak tersihir oleh berita-berita hoax,harus kita
lakukan. sebagaimana kegigihan yang dicontohkan para pahlawan dalam mengusir
penjajah.Jangan sampai bangsa kita terus menambah angka korban,apalagi
sekaligus pelaku yang tanpa sadar menjadi bagian dalam estafeta penyebaran
berita hoax tersebut.Terlebih pada saat informasi itu menyangkut kelompok atau
komunitas yang mereka sendiri termasuk bagian didalamnya,sehingga penerimaan
informasi dilatarbelakangi dengan kondisi yang tidak seimbang dan terdapat sisi
ketepihakan. Akibatnya,ekspresi yang dituangkan tidak sesuai konteks yang
sebenarnya,bahkan sampai ada yang berlebihan dan membuat opini yang bersifat
provokasi.
Kondisi sekarang
menuntut kita untuk selalu sadar dan jeli dalam menangkap maupun menyebarkan
informasi.Proses meneliti dan filterisasi jangan sampai kita lupakan ,bahkan
harus kita libatkan.Di umur kemerdekaan yang ke-77 ini, mari kita tingkatkan
kecerdasan dalam menerima dan menyebarkan berita,agar kita tidak menjadi korban
maupun pelaku yang tanpa sadar ikut dalam penyebaran berita hoax yang telah
dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
“jika dulu para pahlawan
menghindari peluru, maka sekarang kita menghindari hoax yang terus menghantu.jika
dulu para pahlawan mengamati strategi musuh, maka sekarng kita mengamati
informasi yang terus tumbuh.”