Kamis, 20 Juli 2023

Mentirakati Kemaslahatan Umat


Opini#Zafiroh

            Yang  paling hebat dari Indonesia adalah para “paku-paku” yang mampu menyatukan, menguatkan dan menyelaraskan berbagai lapisan manusia yang beragam jenisnya itu di atas pulau-pulau yang dipisahkan lautan yang seolah tak berujung ini. “Paku-paku” itulah yang menjadi barometer baik atau buruknya suatu bangsa, merekalah ulama dan umara.

Membaca Ulama Umara dalam Sejarah

Dengan kecakapan Ulama kita ;mulai dari ulama mushalla, ulama sosial media sampai majlis ulama Indonesia, yang multitalent dalam membaca makna dan menentukan fatwa-fatwa, mengakulturasikan agama dengan budaya, bahkan mempu membaca fenomena dari perkembangan zaman milenial ini secara faktual dan aktual, rasanya tidaklah sulit membumikan berbagai syariat agama Rahmatan lil ‘alamin ini di Indonesia, terlepas dari beragam “jenis” ulama di Indonesia yang tak jarang meramaikan TV, kadang membuat naik pitam, kadang jenaka membuat tawa tak ada hentinya, dan selalu bisa menyejukkan hati-,  kebhinekaan mereka dapat dinikmati hadirnya oleh berbagai “jenis” umat di negeri ini.

            Tak berhenti disana, ulama kita pun sering mendahului para akademisi produk pendidikan barat, terlebih dalam melakukan pendekatan dan menentukan sikap yang tepat untuk menghadapi keadaan umat yang seba hirup-pikuk ini, seperti bentuk penjajahan karakter melalui moderenisasi sosial media, dekadensi moral dan spiritual melalui gaya hidup hedonis yang individualis dan materialis, pun ancaman perpecahan kebhinekaan melalui penyebaran hoax, fitnah, fanatik golongan dan hal-hal primitif lainnya.

            Jika barometer suksesnya ulama adalah berhasil memerankan social control, katalisator, dan mobilisator maka berhaklah beliau-beliau mendapat nilai Shahih, dan kesuksesan itu tidak terlepas dari peran besar pemerintah dalam memberdayakan ulama kita.

            Dalam sejarah Bangsa Indonesia, tepatnya pada awal Oktober 1945, tak lama setelah perjuangan seluruh Bangsa Indonesia menemukan muaranya saat kemerdekaan diproklamasikan, seluruh Ulama Indonesia mengadakan Musyawarah Akbar di Surabaya untuk menentukan sikap atas Kemerdekaan Indonesia.

            Pertemuan yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari ini menghasilkan dua butir fatwa: 1) Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan, 2) Pemerintahan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa. (Meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa).

            Fatwa ini mencakap energy persatuan Ulama dan Umara dengan sangsat dahsyat kepada tiap-tiap jantung umat, agar kita semua bersatu, dan jangan ada pemerintahan lain atau negara lain di tanah ini. Sekaligus memandatkan urusan pemerintahan (Umara) kepada kepala negara saat itu (Ir.Soekarno) beserta seluruh jajarannya.

            Jika kita membaca fakta sejarah, maka akan kita temukan di negara yang menjadi “lumbung ulama” seperti Afganista. Mesir, Irak, Iran, Yaman, Suriah dan kebanyakan negara timur lainnya. Banyak pemerintahan yang kontra terhadap ulama (jika sungkan menyebut ulama nasionalis kalah oleh pemerintah yang bukan ulama atau karena ulama yang tidak nasionalis) sehingga banyak terjadi perpecahan, perang antar-golongan, dan senjangnya kesejahteraan umat  yang teidak terselesaikan.

[Pemerintah Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.]

Seperti yang dialami Imam Ibnu Hambal dan Imam Syafi’I diakhir abad 7 Masehi  oleh Khalifah Al-Mu’tashim, A;-Makmun, dan Al-Wasith yang memberi hukuman penjara, pengusiran, rajam sampai pembunuhan terhadap ulama yang enggan mengakui Al-Quran itu hadist (hal yang baru). Atau pada abad 19 Masehi kemarin ada Muammar Kadafi, Sadam Husain sampai Mustafa Kamal Atatturk yang mengesampingkan Islam, melarang adzan melalui spiker, menutup halaqah tarekat sampai membubarkan madrasah dan majlis ta’lim.

            Fakta itu  sangat autentik (sharih) menjadi dalil bahwa sinergi ulama dan umara membina umat adalah keniscayaan yang wajib hukumnya jika menginginkan tatanan negara yang maslahat

Sebuah Peran, Tantangan dan Pantangan

            Dalam (QS. Al-Nisa’ ayat 59) perintah untuk mentaati Ulil Amr (selama tidak memerintahkan maksiat dan perkara yang diharamkan syariat) berada setelah perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dalam tafsirnya, Ibnu Abbas menafsiri Ulil Amr dengan Ulama, Al-Thabari menafsiri Ulil Amr dengan para Ahli Fiqih dan Ulama ahli agama. Dalam kitab Fathul Qodir, Ulil Amr adalah setiap orang yang menguasai suatu wilayah yang berlaku hokum syariat didalamnya maka termasuk pula Presiden, Gubernur, Walikota, Pak RT dan Pak RW. Dalam Tafsir Ibnu Mundzir, Ulil Amr diartikan sebagai Umara, dari sini tidak perlu ada perdebatan lagi siapakah Ulil Amr itu (meraka adalah ulama dan umara).

            Dua hal positif dari pemisahan itu adalah; 1) Dalam memproduksi fatwa para ulama tidak terkontaminasi oleh politik pemerintahan. 2) Posisi ulama tidak tergantung nasib lembaga pemerintahan, artinya saat pemerintahan jatuh maka posisi ulama tidak ikut jatuh.

            Dalam praktiknya umara pun jangan berhenti hanya sebagai fasilitor dalam memenuhi semua kebutuhan perangkat ulama dalam membumikan “rahmatan lil ‘alamin”, begitupun ulama tak boleh berhenti hanya sebagai katalisator dan mobilisator yang bergantung pada fasilitas umara. Andai demikian, mungkin saja umara memfasilitasi ulama hanya pada musim-musim pemilihan (kalau tidak sekedar mencari citra), bisa juga ulama ogah-ogahan mendidik umat yang macam-macam “jenisnya” ini, bahkan saling nebeng hanya agar ulama menjadi tenar dan umara dipandang benar.

            Maka dalam sinergi ini dibutuhkan adanya kedewasaan, kesadaran dan kerja sama yang benar-benar diikhtiari oleh ulama dan umara. Dan dalam perjalanannya hubungan ulama dan umara janganlah sekedar shahih (relasi), apalagi musuh (‘adduw) namun haruslah sampai menjadi habib (senagnketika yang satu senang, susah ketika yang satu susah, merasuk kecintaannya smapai kepada setiap bagian yang ada pada yang lain –kecuali keburukannya- dan rela memberikan yang dimilikinya untuk yang lain). Sehingga dapat saling menguatkan saat yang satu mulai melemah, saling menjaga saat yang lain diserang dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran untuk mencapai tujuan utama yaitu kemaslahatan yang universal (bagi seluruh rakyat Indonesia) dan unlimited (kemaslahatan sampai di akhirat sana).

[“Sinergi Ulama dan Umara adalah keniscayaan yang wajib hukumnya jika menginginkan tatanan negara yang maslahat]

(

Yang Sering Terlupa dalam Mentirakati Kemaslahatan Umat

            Setelah merdeka, mentirakati kemaslahatan umat lebih tepat dimaknai “menjaga”. Namun dalam konsep “Sinergi ulama dan Umara” yang keren ini, ada komponen yang sering terlupa –jika tidak ingin menyebut sengaja melupakan diri sendiri sebab kebanyakan mengingat dan memikirkan aib-aib yang lain- yaitu Umat itu sendiri.

            Bukanlah Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubah dirinya? Maka sinergi bukan hanya kewajiban ulama dan umara namun juga kewajiban umat, khususnya yang tidak merasakan beratnya (fitnah) menjadi umara dan sulitnya (sabar) menjadi ulama.

            Sebagai umat, marilah menjalankan kewajiban umat, taat kepada Ulil Ami-nya, mendukung  dan mengambil bagian dari berbagai pembangunan bangsa.

            Mulai dari memperbaiki diri sendiri saja, seperti belajar dengan sungguh-sungguh, bukankah itu sama dengan meringankan beban satu orang dari tanggungan mereka untuk mencerdaskan bangsa, tanpa meletihkan pikiran pada bagaimana cara terbaik mengadu domba, atau menghabiskan kuota untuk menyebar hoax dan sensasi semata, yang pada akhirnya hanya menambah pusing ulama dan umara.

            Jangan mengurusi urusan yang lain atau (kalau dipegang oleh yang bukan ahlinya) tunggulah kehancurannya! Maka mari sambut setiap silaturrahim umara ke ulama -pun sebaliknya- dengan pandangan positif (husnul dzan) tanpa berujar “halaah politik!

            Semoga saja dari sana terjalin sinergi dan menghasilkan (tajdiidul ghirroh likhidmatil ummah) semangat yang ter-refresh untuk kembali mentitrakati kemaslahatan ummat. Untuk kemaslahatan kita.

Previous Post
Next Post

0 comments: