Jumat, 11 Agustus 2023

Tradisi Ngrowot di Pondok Pesantren

 


Oleh: M. Kurnia Mardhika

Pondok pesantren tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu agama, merekonstruksi karakter, namun juga menjernihkan hati. Spirit positif ini perlu untuk digali oleh santri melalui tirakat untuk mengaktualisasikan diri baik secara fisik maupun batin. Santri juga terbiasa dengan amalan-amalan dan tradisi yang mindstreem dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, diantaranya adalah tradisi Ngrowot.

Ngrowot sudah mentradisi dalam kehidupan manusia jawa tanpa diketahui secara pasti siapa pencetusnya dan kapan ngrowot bermula. Dalam kajian bahasa, istilah ngrowot dibakukan menjadi merowot, artinya berpantang makan nasi, hanya makan sayuran. Ngrowot adalah budaya Jawa di bidang makanan, dimana seseorang tidak mengkonsumsi nasi dan semua makanan yang terbuat dari beras demi mencapai tingkatan kehidupan yang diinginkan, orang jawa berusaha menjalankan nasihat leluhur. Orang jawa percaya dengan melakukan proses pengekangan keinginan, sebagai gantinya pelaku atau penghayat ngrowot mengkonsumsi ubi-ubian, singkong, thiwul, jagung dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi pangan bahkan sebelum istilah ini marak diperkenalkankan.

Ngrowot memiliki arti yang berbeda bagi setiap santri, ada yang mengartikannya sekedar proses transisi sumber makanan pokok dari nasi ke selain nasi, ada yang memandangnya sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan, ada juga yang melihatnya sebagai ritual kuno yang berbau mistis. Bagi santri, Ngrowot yang dimaknai sebagai media tazkiyah al-nafs (Penyucian diri) adalah faktor yang mendukung tercapainya misi mencari ilmu di pondok pesantren, karena ilmu akan mudah masuk pada hati yang bersih. Aspek terpenting dari Ngrowot adalah meniatinya semata-mata lillahi ta’ala, kerena allah ta’ala. Tanpa adanya niat lillahi ta’ala, Ngrowot hanya sekadar menahan lapar.

Ngrowot bisa juga dimaknai menjauhi kesenangan, seperti tidur disukai oleh orang pada umunya, maka ketika santri meninggalkan tidur berarti secara esensi santri menjalankan tirakat ngrowot. Pondok pesantren sebagai laboratorium perilaku merupakan tempat untuk melakukan eksperimen yang hasilnya akan diimplementasikan di masyarakat, maka ngrowot dalam perspektif ini memiliki esensi Qona’ah (penerimaan diri) yang bermuara pada implementasi disetiap aspek kehidupan.

 Santri Ngrowot, meski sudah mengkonversi makanan pokok mereka dari nasi kepada jagung, namun tidak berarti merubah semua ritual makan mereka. Seperti jam makan, kebanyakan dari mereka menyesuaikan jam makan dengan aktifias mereka. Ngrowot sebagaimana halnya salah satu bentuk tirakat dzohir dan batin mengharuskan para santri memiliki izin dari mujiz atau Kyai.

Ngrowot ada tiga macam. 1) Telesan dalam bahasa indonesia artinya basah, ngrowot telesan adalah ngrowot yang paling ringan, seseorang yang melaksanakan ngrowot telesan biasanya hanya menghindari nasi saja. 2) Ngrowot Seretan atau seret, pada praktiknya sama dengan ngrowot telesan namun terdapat perbedaan pada pantangan yaitu dilarang memakan makanan yang memiliki ruh atau sesuatu yang keluar dari ruh seperti telur, susu dan sejenisnya. Ngrowot ini juga biasanya dibarengi dengan amalan yang lebih berat dari ngrowot telesan. 3) Ngrowot Garingan atau keringan adalah ngrowot yang paling berat bibanding dengan dua jenis ngrowot diatas. Seseorang yang menjalani Ngrowot Garingan  hanya memakan makanan yang tidak lazim dimakan oleh manusia pada ummnya dalam keadaan mentah atau tidak dimasak, seperti KH.Ya’qub yang hanya memakan beberapa butir beras untuk berbuka, KH. Abdul Karim pendiri PonPes Lirboyo yang hanya makan daun pace selama 40 tahun, atau KH.Hamim Jazuli pendiri PonPes Ploso yang hanya memakan kulit semangka setiap harinya. Ngrowot Garingan biasanya dibarengi dengan amalan yang berat dan juga lama, seperti puasa naun, bila ruh, maupun dzikir ribuan. 

Kebanyakan santri meyakini bahwa Ngrowot memiliki empat manfaat; 1)‘ulumiyyah (ilmu yang manfaat dan barakah), 2) ‘amaliyyah (ibadah lebih khusu dan media memerangi hawa nafsu), 3) dzuriyyah (keturunan yang sholeh dan pintar serta keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah), dan 4) maliyyah (bisa menghemat dalam segi ekonomi).

Ngrowot sudah banyak dijadikan bahan penelitian. Diantaranya dalam perspektif kemandirian pangan dan energi berbasis pertanian, Budaya ngrowot meniadakan / mengurangi ketergantungan pada beras yang membutuhkan infrastruktur mahal. Berarti juga pendayagunaan sumberdaya lokal pekarangan yang bersifat tahan naungan, tegalan dengan input rendah, dan bertujuan memenuhi kecukupan gizi dengan swadaya lokal. Hal ini menunjukan kebhinekaan negara kita dalam bidang sumber pangan.

Dalam Psikologi islam, pelaksanaan ngrowot menunjukan pengolahan jiwa/psikis untuk mencapai tujuan hidup yang lebih bermakna dari sekedar memenuhi kebutuhan fisik. Ngrowot juga merupakan refleksi dari religiusitas dan konsep kesejahteraan eudaimonik dari santri ngrowot, sehingga Ngrowot dapat menjadi metode meningkatkan kebahagaiaan/ kesejahteaan psikologis berbasis kultural dan islami.

Dalam Kajian Neurosains, Ngrowot membuat nalar spiritual para santri lebih mandiri, sulit dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran asing yang tidak senapas dengan ajaran salafi Ngrowot menjadikan pelakunya mengubah sejumlah sikap dan kebiasaan baru yang selaras dengan nilai-nilai karakter, seperti zuhud dalam bersikap dan lembut dalam bertutur kata namun tetap optimis dan penuh semangat.

Ngrowot hanyalah satu dari sekian banyak warisan spiritual yang diestafetkan leluhur pondok pesantren kepada penerusnya, tak heran jika hanya beberapa santri yang ngrowot, karena sisanya para santri memilih untuk menjalankan tirakat lain yang sesuai dengan karakter dirinya, seperti puasa mutih, gundul hari rabu, naun dan lainnya.

Previous Post
Next Post

0 comments: