Oleh: M. Kurnia Mardhika
Pondok pesantren tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu agama,
merekonstruksi karakter, namun juga menjernihkan hati. Spirit positif ini perlu
untuk digali oleh santri melalui tirakat untuk mengaktualisasikan diri baik
secara fisik maupun batin. Santri juga terbiasa dengan amalan-amalan dan tradisi
yang mindstreem dilakukan oleh orang-orang
pada umumnya, diantaranya adalah tradisi Ngrowot.
Ngrowot sudah
mentradisi dalam kehidupan manusia jawa tanpa diketahui secara pasti siapa
pencetusnya dan kapan ngrowot bermula. Dalam kajian bahasa, istilah ngrowot dibakukan menjadi
merowot, artinya berpantang makan nasi, hanya makan sayuran. Ngrowot
adalah budaya Jawa di bidang makanan, dimana seseorang tidak mengkonsumsi nasi
dan semua makanan yang terbuat dari beras demi mencapai tingkatan kehidupan
yang diinginkan, orang jawa berusaha menjalankan nasihat leluhur. Orang jawa
percaya dengan melakukan proses pengekangan keinginan, sebagai
gantinya pelaku atau penghayat ngrowot mengkonsumsi ubi-ubian, singkong,
thiwul, jagung dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi
pangan bahkan sebelum istilah ini marak diperkenalkankan.
Ngrowot memiliki arti yang berbeda bagi
setiap santri, ada yang mengartikannya sekedar proses transisi sumber makanan
pokok dari nasi ke selain nasi, ada yang memandangnya sebagai sebuah tradisi
yang harus dilestarikan, ada juga yang melihatnya sebagai ritual kuno yang
berbau mistis. Bagi santri, Ngrowot yang dimaknai sebagai media tazkiyah
al-nafs (Penyucian diri) adalah faktor yang mendukung tercapainya misi
mencari ilmu di pondok pesantren, karena ilmu akan mudah masuk pada
hati yang bersih. Aspek terpenting dari Ngrowot
adalah meniatinya semata-mata lillahi ta’ala, kerena allah ta’ala. Tanpa
adanya niat lillahi ta’ala, Ngrowot hanya sekadar menahan lapar.
Ngrowot bisa juga dimaknai menjauhi
kesenangan, seperti tidur disukai oleh orang pada umunya, maka ketika santri
meninggalkan tidur berarti secara esensi santri menjalankan tirakat ngrowot.
Pondok pesantren sebagai laboratorium perilaku merupakan tempat untuk
melakukan eksperimen yang hasilnya akan diimplementasikan di masyarakat, maka ngrowot
dalam perspektif ini memiliki esensi Qona’ah (penerimaan diri) yang
bermuara pada implementasi disetiap aspek kehidupan.
Santri
Ngrowot, meski sudah mengkonversi makanan pokok mereka dari nasi kepada
jagung, namun tidak berarti merubah semua ritual makan mereka. Seperti jam
makan, kebanyakan dari mereka menyesuaikan jam makan dengan aktifias mereka. Ngrowot
sebagaimana halnya salah satu bentuk tirakat dzohir dan batin mengharuskan para
santri memiliki izin dari mujiz atau Kyai.
Ngrowot ada tiga macam. 1) Telesan dalam bahasa indonesia artinya basah, ngrowot telesan
adalah ngrowot yang paling ringan, seseorang yang melaksanakan ngrowot telesan
biasanya hanya menghindari nasi saja. 2) Ngrowot Seretan atau seret, pada praktiknya sama
dengan ngrowot telesan namun terdapat perbedaan pada pantangan yaitu dilarang
memakan makanan yang memiliki ruh atau sesuatu yang keluar dari ruh seperti
telur, susu dan sejenisnya. Ngrowot ini
juga biasanya dibarengi dengan amalan yang lebih berat dari ngrowot telesan. 3) Ngrowot
Garingan atau keringan adalah ngrowot yang paling berat bibanding dengan dua
jenis ngrowot diatas. Seseorang yang menjalani Ngrowot Garingan hanya memakan makanan yang tidak lazim
dimakan oleh manusia pada ummnya dalam keadaan mentah atau tidak dimasak,
seperti KH.Ya’qub yang hanya memakan beberapa butir beras untuk berbuka, KH.
Abdul Karim pendiri PonPes Lirboyo yang hanya makan daun pace selama 40 tahun,
atau KH.Hamim Jazuli pendiri PonPes Ploso yang hanya memakan kulit semangka
setiap harinya. Ngrowot Garingan biasanya dibarengi dengan amalan yang berat
dan juga lama, seperti puasa naun, bila ruh, maupun dzikir ribuan.
Kebanyakan santri
meyakini bahwa Ngrowot memiliki empat manfaat; 1)‘ulumiyyah (ilmu
yang manfaat dan barakah), 2) ‘amaliyyah (ibadah lebih khusu dan media
memerangi hawa nafsu), 3) dzuriyyah (keturunan yang sholeh dan pintar
serta keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah), dan 4) maliyyah (bisa
menghemat dalam segi ekonomi).
Ngrowot sudah banyak dijadikan bahan penelitian.
Diantaranya dalam perspektif kemandirian pangan
dan energi berbasis pertanian, Budaya ngrowot meniadakan / mengurangi
ketergantungan pada beras yang membutuhkan infrastruktur mahal. Berarti juga
pendayagunaan sumberdaya lokal pekarangan yang bersifat tahan naungan, tegalan
dengan input rendah, dan bertujuan memenuhi kecukupan gizi dengan swadaya
lokal. Hal ini
menunjukan kebhinekaan negara kita dalam bidang sumber pangan.
Dalam Psikologi islam, pelaksanaan ngrowot
menunjukan pengolahan jiwa/psikis untuk mencapai tujuan hidup yang lebih
bermakna dari sekedar memenuhi kebutuhan fisik. Ngrowot juga merupakan
refleksi dari religiusitas dan konsep kesejahteraan eudaimonik dari santri
ngrowot, sehingga Ngrowot dapat menjadi metode meningkatkan kebahagaiaan/
kesejahteaan psikologis berbasis kultural dan islami.
Dalam Kajian Neurosains, Ngrowot membuat nalar
spiritual para santri lebih mandiri, sulit dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
asing yang tidak senapas dengan ajaran salafi Ngrowot menjadikan pelakunya
mengubah sejumlah sikap dan kebiasaan baru yang selaras dengan nilai-nilai karakter,
seperti zuhud dalam bersikap dan lembut dalam bertutur kata namun tetap optimis
dan penuh semangat.
Ngrowot hanyalah satu dari sekian banyak
warisan spiritual yang diestafetkan leluhur pondok pesantren kepada penerusnya,
tak heran jika hanya beberapa santri yang ngrowot, karena sisanya para santri
memilih untuk menjalankan tirakat lain yang sesuai dengan karakter dirinya,
seperti puasa mutih, gundul hari rabu, naun dan lainnya.
0 comments: