Selasa, 05 Oktober 2021

Kiai Marzuqi Tak suka Politik

 

Alm. KH. Ahmad Idris Marzuqi

            Kiai Ahmad Marzuqi Dahlan adalah putra dari Kiai Dahlan. Sementara itu, Kiai Dahlan adalah putra Kiai Sholeh yang dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, yang kelak mengambil Kiai Abdul Karim sebagai menantu. Kiai Abdul Karim kemudian mengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Setelah itu Kiai Marzuqi diambil menantu oleh Kiai Abdul Karim, yang masih punyahubungan kerabat karena Kiai Marzuqi sendiri adalah keponakan dari istri Kiai Abdul Karim. Sejak diambil menantu itu beliau membantu sebagai pengasuh, sampai akhir hayat Kiai Abdul Karim. Beliau adalah penerus perjuangan Pesantren Lirboyo.

            Kiai Marzuqi juga saudara kandung Kiai Ihsan Jampes, pengarang kitab Sirajuth Thalibin dan kitab Manahijul Imdad.

Pribadi Penuh Tanggung Jawab

            Sehari-harinya, Kiai Marzuqi lebih banyak meluangkan waktu untuk mengabdikan diri kepada pondok pesantren, mengawasi proses belajar santri, sehingga apabila ada santri yang melanggar aturan maka beliau sendiri yang megurus. Ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dakwah. Beliau berkata, ”Kalau saya tidak memperhatikan santri, bagaiman tanggung jawab saya terhadap Allah.”

            Sang istri tercinta atau ibu saya, juga selalu membantu kegiatan Kiai Marzuqi. Pernah pada suatu saat Pesantren Lirboyo membutuhkan tanah untuk pembangunan pondok. Kemudian Kiai Marzuqi mendapat isyarah dari seorang wali yang sering beliau ziarahi, agar membangun bangunan pesantren di sebelah barat rumah, yang kebetulan adalah milik ibu saya. Sepulang dari ziarah maqam wali, Kiai Marzuqi langsung menyampaikan cerita itu kepada ibu saya.

            Sebenarnya pada saat itu ibu agak berat untuk menyerahkan tanah tersebut. Kemudian ayah memberikan pandangan, ”Apa yang akan kamu dapat dari tanah itu dibanding dengan pahala balasan yang akan didapat nanti di akhirat. ”Akhirnya ibu saya merelakan. Kemudian beliau memanggil pengurus pondok agar segera ditangani. Langsung tanpa macam-macam lagi, pengurus pondok membuat panitia pembangunan. Soal pendanaan, ayah langsung menulis dengan tangannya sendiri dengan tulisan arab pegon agar masyarakat membantu menolong.

            Suatu keajaiban! Dana dari masyarakat dalam waktu singakt dapat terkumpul. Masyarakat berbondong-bondong untuk menyumbang. Bahkan, ada yang dobel (dua kali) memberi sumbangan; Kemarin sudah menyumbang kemudian keesokan harinya juga menyumbang lagi. Setelah mereka menyumbang, rasa senang beliau pun bertambah. Akhirnya sampai selesai, jadilah bangunan.

Tak Mengurusi Politik

            Di Pondok Lirboyo, sepeninggalan Kiai Abdul Karim terdapat dua pengasuh, yaitu Kiai Marzuqi dan Kiai Mahrus. Kiai Mahrus lebih banyak berhubungan dengan masyarakat, sedangakan Kiai Marzuqi memfokuskan diri terhadap pesantren dan tidak berhubungan dengan orang luar, seperti pejabat.

            Pada masa sekitar sebelum tahun 1955-an, hubungan antara pondok dengan masyarakat tertutup, karena mayoritas orang-orang sekitar adalah komunis. Jadi secara zhahir pondok masih berhubungan baik tetapi secara bathin sering kali terjadi kres antara santri-santri dengan pemuda kampung karena pemahamannya yang tidak sama. Itu terutama terjadi setelah Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September atau G-30S/PKI). Waktu itu, Kiai Mahrus berpesan bahwa masyarakat Lirboyo jangan diganggu, kecuali tokoh-tokohnya yang PKI, serahkan saja kepada yang berwenang. Dengan kebijaksanaan semacam itu, mayarakat Lirboyo merasa diselamatkan oleh pondok sehingga menjadi masyarakat yang baik sampai sekarang.

            Waktu itu, Kiai Mahrus memang yang sering berurusan dengan persoalan politik, sedangkan Kiai Marzuqi tidak. Kesan yang tak terlupakan adalah beliau tidak pernah tersangkut masalah politik atau masalah pemerintahan tetapi anehnya beliau ini bisa mengatakan apakah seseorang layak atau tidak dalam mengurus negara. Dalam pandangan Mbah Marzuqi, tokoh yang pas adalah Pak Soekarno, setelah Pak Soekarno adalah Jenderal Nasution.

            Meski tak suka politik, ayah saya tidak pernah mencacimaki tokoh-tokoh politik, terutama tokoh dari kalangan NU. Walaupun tidak pernah berhubungan, tetapi ayah saya mengamati maksud dari semua itu. Maka dapat ditarik benang merah begini; Bahwa walaupun tidak terlibat politik maka jangan menjauhi politik, sebab politik jika dijauhkan akan menimbulkan su’udzon kepada umat.

Masa Tua Mbah Marzuqi

            Saya tidak terlalu intens mendampingi beliau karena setelah tamat, saya dimasukkan dalam kepengurusan pondok, dan turut mengatur pondok pesantren bersama para pengurus. Saya pun jarang sekali mewakili beliau dalam acara-acara tertentu. Hal itu bukan karena tidak pernah melibatkan putra-putranya, tetapi memang beliau tidak mudah mendatangi undangan seperti walimatul ‘urs. Berbeda pada masa akhir-akhir usianya, beliau malah sering mendatangi acara. Mungkin karena waktunya sudah agak tua sehingga agak longgar waktu untuk beristirahat. Jika mendapatkan undangan dan tidak dapat memenuhinya, beliau langsung meminta maaf untuk tidak bisa hadir sehingga tidak menyakitkan orang yang mengundang.

            Beliau juga pernah memberikan ijazah kepada anak-anaknya untuk meneruskan perjuangannya. Saya anak yang ke-2. Yang pertama putri. Dibawah saya juga putri lagi. Putri lagi, sampai tiga. Setelah itu, adik saya yang bernama Thohir itu. Setelah itu, putra, putra, dan putri. Saya pernah melewati usia dimana saya dan ayah terjun ke masyarakat.

            Dulu, saat gurunya masih ada, yakni Mbah Kiai Hasyim Asyari, beliau selalu menyampaikan persoalan yang dihadapi kepada gurunya itu. Temasuk juga kepada Mbah Muhajir di Pesantren Bendo, Pare, atau kakaknya sendiri yaitu Kiai Ihsan Jampes dan paman-pamannya. Terkait masalah-masalah pondok pesantren, beliau menyerahkan semua kepada para pengurus dan segera diatasi. Beliau pun tidak pernah mengeluh. Dulu madrasah atau MHM di Lirboyo pertama kali dipimpin oleh Kiai Marzuqi, kemudian Kiai Mahrus, selanjutnya ada kepala madrasahnya dari tokoh santri.

            Keistiqomahan Kiai Marzuqi terbukti bahwa waktunya hanya didedikasikan untuk ilmu. Selama beliau sehat pun waktunya hanya untuk ilmu. Beliau sidah mengaji Ihya’ dari jam 4 pagi. Lalu mengaji lagi pada jam 8 sampai kira-kira jam 10 pagi. Setelah itu baru istirahat.

            Kepada keluarga dan santri-santrinya, Kiai Marzuqi Dahlan memiliki pesan yang sama dengan pesan yang disampaikan oleh orang tuanya, yaitu semasa hidup di dunia sedapat mungkin mengabdi hanya kepada ilmu. Ketika menjadi apa pun kelak atau berumur berapa pun, jangan sampai lepas dari pengabdian kepada umat, baik berbentuk ta’allum ataupun ta’lim. Semasa hidupnya pun, Kiai Marzuqi selalu menekankan pentingnya ilmu kepada anak-anaknya. Sampai beliau membangunkan putra-putranya dimalam hari untuk belajar.

Peran Alumni Lirboyo di Masyarakat

            Lirboyo memberi keleluasaan kepada para santri. Santri yang betul-betul menguasai ilmu akan dijadikan tenaga-tenaga pengurus, dan pengajar. Dengan menjadi guru, para santri senior mengulang dan mengokohkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari. Dan seharusnya kita anjurkan siapa saja yang mampu membaca kitab-kitab, entah kitab apa saja maka ajarkanlah sehingga akan menjadi kebiasaan.

            Mendirikan pesantren tidak semudah mendirikan pabrik. Pesantren bukan hanya besar. Jika mengandalkan besar saja maka tidak akan jadi. Oleh karena itu jika terdapat alumni yang mendirikan pesantren maka bantulah karena sulitnya bukan main.

            Pesantren harus kita pertahankan untuk umat Islam karena membutuhkan orang yang mempunyai akhlakul karimah yang betul-betul bisa diamalkan oleh pelakunya dan bercermin pada pikiran hatinya itu. Ciri khas orang pondok pesantren adalah ketika mengatakan sesuatu maka juga diamalkan. Orang-orang semacam inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat.

            Ada seorang tokoh mengatakan,”Pokok dari yang paling utama adalah kejujuran. Sebesar apapun negara tapi kalau tidak ada kejujuran, negara itu akan hancur. Sekecil apapun dan semiskin apapun negara itu jika mengutamakan kejujuran maka negara itu akan kaya. Inilah prinsip pondok pesantren.”

            Memang jika dipandang sepintas dari luar saja,santri di pesantren sulit dipandang dan dinilai tidak ada apa-apanya. Saya ingin bercerita, setiap Ramadhan saya mengirimkan santri kepada masyarakat. Pertama-tama kali, banyak komentar bahwa santri didak pandai berhias diri (komproh).Tetapi ternyata setelah mendengarkan ceramah dari anak santri itu, masyarakat pun kaget,dan merasa lebih bodoh. Saya juga pernah mengirimkan tamatan Liriboyo. Dia orang yang bekerja di tempat saya, bekas khadim. Alhamdulillah, anak tersebut sangat alim. Kemudian panitia mengirim dia ke sana dan akhirnya diambil menantu.

“Kesan yang tak terlupakan adalah Mbah Marzuqi tidak pernah tersangkut masalah politik atau masalah pemerintahan tetapi anehnya beliau ini bisa mengatakn apakah seseorang layak atau tidak dalam mengurus negara. Dalam pandangannya, tokoh yang pas adalah Pak Soekarno , setelah Pak Soekarno adalah Jenderal Nasution.”

-KH. Ahmad Idris Marzuqi-

Sumber: Buku berjudul; Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo

 

Previous Post
Next Post

0 comments: