alm. KH. Abd. Aziz Manshur
Mbah Manab Itu
orangnya memang zuhud. Saat mondok di Bangkalan beliau mencari bekal
sendiri. Pada musim panen beliau mencari panenan padi ke Jawa, ke Sidoarjo, ke
Krian, ke Jember. Kalau sudah mendapatkan padi, beliau pulang kembali ke pondok.
Biasanya beliau berhasil membawa satu ganjeng, ya… kira-kira isinya 30
sampai 40 kg. Jadi, 30 atau 40 kg itu untuk bekal hidup selama satu tahun.
Dan akhir-akhir, setelah
bidang syariat beliau sudah alim atau syariatnya sudah pandai, beliau itu
dinaikkan derajatnya menjadi orang yang tajrid (artinya ‘kosong’, kebalikan
dari kasb yang berarti ‘usaha’)oleh kiainya. Begitu beliau mencari
panenan ke Sidoarjo dan Krian, beliau mendapatkan dua granting, padahal
biasanya beliau hanya mendapatkan satu granting. Karena terlalu berat
panenannya itu dipikul oleh Mbah Karim. Begitu tiba di pondok, oleh Kiai Kholil
disambut dengan ucapan, ”Alhamdulillah, koe gowo pakan beneran Kang Manab.” Akhirnya, oleh Kiai Kholil padi itu malah
langsung dibawa ke dapur diserahkan ke khadimnya.
Nah, Mbah
Manab itu alim dalam ilmu nahwu, dan santri-santri Bangkalan yang mau bertanya
tentang ilmu nahwu biasanya disuruh bertanya ke beliau. Pada waktu itu karena
Mbah Manab masih punya beras ya… santri yang nanya tidak membawa apa-apa, dan
pulang juga tidak meninggalkan apa-apa. Akhirnya, setelah Mbah Manab diminta
berasnya oleh Mbah Kholil, berasnya diserahkan kembali kepada beliau tanpa
diberitahu. Mbah Manab berpikir kalau begitu saya disuruh berhenti bekerja, dan
disuruh tawakal kepada Allah.
Besok harinya
Mbah Manab dipanggil, dan ditanya oleh Mbah Kholil, ”Sudah sarapan?” Ya… beliau
tak bisa menjawab. Mau menjawab, ”Wes (sudah)”, tapi kenyataannya
belum. Mau menjawab belum nanti disangka minta sarapan. Mbah Manab berpikir
lebih dalam apa hikmah dibalik sikap Mbah Kholil. Mbah Manab paham.” Biar saya
lebih paham lagi, biar saya berhenti bekerja dan lebih tawakal lagi kepada
Allah.” Dan mulai saat itu Mbah Manab
tidak lagi bekerja mencari beras. Akhirnya, santri-santri yang biasanya
bertanya kepada beliau berpikir, ”Iya... Kang Manab saiki ora duwe beras, saiki
wis ora nyambut gawe, mampir warung disek lah. Kang Manab tak gawakno sego, jajan”.
(Kang Manab sekarang sudah tidak
punya beras, sekarang sudah tidak bekerja, mampir ke warung dulu lah, Kang
Manab dibawakan nasi, atau jajanan). Ya kalau pulang salaman dengan memberikan
uang sekedarnya. Mbah Manab memang menerima uang itu, tapi biasanya langsung
beliau masukkan ke bawah tikar. Begitu sampai dua bulan, Mbah Kholil
memerintahkan membersihkan seluruh kamar para santri, termasuk kamar Mbah Manab.
Ternyata di bawah tikar itu terdapat banyak uang . Uang itu tidak lain adalah
pemberian santri-santri yang sering bertanya kepada beliau.
Akhirnya Mbah
Manab menangis. Dalam tangisnya itu beliau berkata, ”Ya Allah jangan-jangan
ilmu dan amal-amal saya hanya diganti dengan uang ini saja.” Beliau menangis. Jadi
mulai saat itu, Mbah Manab berhenti bekerja. Sampai akhirnya teman-temannya
pulang semua. Dan Mbah Manab juga disuruh pulang oleh Mbah Kholil. Mbah Manab
pulang ke rumah temanya di Magelang. Beliau tidak pulang ke rumah karena tidak
ada tempat ngaji. Akhirnya beliau mampir-mampir ke teman-temannya. Setelah
mampir-mampir, Mbah Kiai Hasyim yang sudah bermukim di Tebuireng, mendengar
kabar tentang Mbah Manab dan menyuruh santri untuk mencarinya. Mbah Hasyim
mengharapkan kedatangan Mbah Manab ke Tebuireng. Di Tebuireng, Mbah Manab
diminta menbantu mengajar Nahwu, dan di situlah Mbah Manab itu dilamar oleh
seorang kiai dari Kediri yang bernama Kiai Sholeh.
Awalnya, Kiai
Sholeh datang ke Bangkalan, ke Pondok Kiai Kholil. Kiai Sholeh itu adalah teman
mondok Kiai Kholil di Sepanjang, Sidoarjo. Akhirnya beliau bersilaturrahmi ke
Bangkalan dan ngobrol-ngobrol, ”Kang aku duwe anak perawan, enek ta santri?”(Saya
punya anak gadis apa ada santri yang pas untuknya?) ”Wah, iyo… enek wonge
wes tue. Saiki ono neng kono, neng Kiai Hasyim.” (Ada, orangnya lumayan tua,
sekarang berada di tempat Kiai Hasyim). Setelah itu, Kiai Sholeh datang menemui
Kiai Hasyim, dan mengatakan, ”Kulo sowan ke Kiai Kholil. Kulo takok, tirose
mantu kulo neng kene….” Kiai Hasyim langsung memanggil Mbah Manab.” Aku celokno
Kang Manab, ”kata Kiai Hasyim. Padahal pada waktu itu gadis yang dimaksud
itu berumur 13 dan Mbah Manab berumur 40-an. Gadis itu akhirnya di-ijabi
dan langsung dibawa. Satu tahun kemudian Mbah Manab sudah punya satu orang putra.
Setelah itu, tiba-tiba pada suatu pagi Kiai Sholeh mengajak Mbah Manab ke Desa
Lirboyo.
Nah, Mbah
Sholeh membeli pekarangan yang pernah ditawarkan oleh lurah Lirboyo. Setelah
dilihat dan kok ternyata bagus, tanah itu dibeli. Salah seorang santri
diajak untuk membawakan beras satu bakul, seekor ayam, dan selembar tikar.
Mbah Manab Selalu Berpegang Kuat pada Syariat
Setelah kira-kira
dua atau tiga minggu, anak dan istri Mbah Manab menyusul ke Lirboyo. Dan mulai
dari sinilah muncul bibit-bibit Lirboyo. Tapi Mbah Sholeh tidak membiarkan
begitu saja, sampai akhirnya sedikit demi sedikit dibikin mushalla. Dan
akhirnya dibuatkan rumah walaupun Mbah Manab tidak pernah meminta itu. Selanjutnya
datang 3, 4, sampai 5 orang murid. Akhirnya dibikinkan kamar bagi mereka
dari kayu.
Nah, kalau
pesan Mbah Manab yang sering kita gunakan sebagai pedoman itu, Mbah Manab itu
sangat memperhatikan sunah Rasul untuk hidup berkeluarga. Beliau sangat
memperhatikan betul sunah Rasul. Putrinya itu, termasuk ibu saya itu, setelah
berumah tangga di sini ya kadang-kadang 5 bulan atau setengah tahun ya
datang ke sana sowan ke orang tua. Ketika sowan itu yang ditanya bukan
oleh-olehnya, tetapi yang ditanyakan “Kuwi maeng koe pamit ambek bojomu…?(Apakah
sudah izin sama suami?)”. ”Inggih kula pamit(Ya sudah izin)”. ”Pirang
dino…?(Berapa hari?). Nanti kalau sudah lima hari, ayo aterno muleh (mari
Aku antarkan pulang). Aku takut dituntut oleh Allah Swt. Punya anak tidak taat
sama suaminnya.”
Santri Harus Jadi Paku
Ketika ada santri
yang hendak pulang, Mbah Manab pernah berpesan bahwa santri harus bisa jadi paku(kudu
iso dadi paku). Jadi, paku itu gak perlu kelihatan. Yang penting
paku itu bisa menghubungkan kayu yang satu dengan yang lain. Yang penting
bangunan itu kokoh. Jadi, santri kalau sudah pulang harus benar-benar mengayomi
masyarakat. Walaupun jasa kita tidak direken oleh masyarakat.
Mbah Manab Menghormati Tetangga
Beliau kalau ngaji
benar-benar ikhlas dan amaliah beliau selalu dijalankan dengan ikhlas. Mbah
Manab adalah pribadi yang sangat menghormati tetangga. Ketika ada keperluan
diluar, walaupun beliau sudah hendak berangkat, kalau tetangga sudah mengundang,
maka beliau tidak jadi berangkat. Walaupun tetangganya itu tidak sembahyang, tapi
tetangganya kok ngakunya Islam, tetap didatengi, tidak pernah
milih-milih.
“Pesan Mbah Manab yang sering kita gunakan
sebagai pedoman itu, Mbah Manab itu sangat memperhatikan sunah Rasul untuk
hidup berkeluarga. Beliau sangat memperhatikan betul sunah Rasul.”
-KH. Abd Aziz Manshur-
Sumber:
Buku Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus Kesan Mendalam Para Tokoh
Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo.
0 comments: