Rabu, 24 November 2021

Kisah Beras Mbah Manab Diminta Mbah Kholil

 


alm. KH. Abd. Aziz Manshur

            Mbah Manab Itu orangnya memang zuhud. Saat mondok di Bangkalan beliau mencari bekal sendiri. Pada musim panen beliau mencari panenan padi ke Jawa, ke Sidoarjo, ke Krian, ke Jember. Kalau sudah mendapatkan padi, beliau pulang kembali ke pondok. Biasanya beliau berhasil membawa satu ganjeng, ya… kira-kira isinya 30 sampai 40 kg. Jadi, 30 atau 40 kg itu untuk bekal hidup selama satu tahun.

            Dan akhir-akhir, setelah bidang syariat beliau sudah alim atau syariatnya sudah pandai, beliau itu dinaikkan derajatnya menjadi orang yang tajrid (artinya ‘kosong’, kebalikan dari kasb yang berarti ‘usaha’)oleh kiainya. Begitu beliau mencari panenan ke Sidoarjo dan Krian, beliau mendapatkan dua granting, padahal biasanya beliau hanya mendapatkan satu granting. Karena terlalu berat panenannya itu dipikul oleh Mbah Karim. Begitu tiba di pondok, oleh Kiai Kholil disambut dengan ucapan, ”Alhamdulillah, koe gowo pakan beneran Kang Manab.”  Akhirnya, oleh Kiai Kholil padi itu malah langsung dibawa ke dapur diserahkan ke khadimnya.

            Nah, Mbah Manab itu alim dalam ilmu nahwu, dan santri-santri Bangkalan yang mau bertanya tentang ilmu nahwu biasanya disuruh bertanya ke beliau. Pada waktu itu karena Mbah Manab masih punya beras ya… santri yang nanya tidak membawa apa-apa, dan pulang juga tidak meninggalkan apa-apa. Akhirnya, setelah Mbah Manab diminta berasnya oleh Mbah Kholil, berasnya diserahkan kembali kepada beliau tanpa diberitahu. Mbah Manab berpikir kalau begitu saya disuruh berhenti bekerja, dan disuruh tawakal kepada Allah.

            Besok harinya Mbah Manab dipanggil, dan ditanya oleh Mbah Kholil, ”Sudah sarapan?” Ya… beliau tak bisa menjawab. Mau menjawab, ”Wes (sudah)”, tapi kenyataannya belum. Mau menjawab belum nanti disangka minta sarapan. Mbah Manab berpikir lebih dalam apa hikmah dibalik sikap Mbah Kholil. Mbah Manab paham.” Biar saya lebih paham lagi, biar saya berhenti bekerja dan lebih tawakal lagi kepada Allah.”  Dan mulai saat itu Mbah Manab tidak lagi bekerja mencari beras. Akhirnya, santri-santri yang biasanya bertanya kepada beliau berpikir, ”Iya... Kang Manab saiki ora duwe beras, saiki wis ora nyambut gawe, mampir warung disek lah. Kang Manab tak gawakno sego, jajan”. (Kang Manab sekarang  sudah tidak punya beras, sekarang sudah tidak bekerja, mampir ke warung dulu lah, Kang Manab dibawakan nasi, atau jajanan). Ya kalau pulang salaman dengan memberikan uang sekedarnya. Mbah Manab memang menerima uang itu, tapi biasanya langsung beliau masukkan ke bawah tikar. Begitu sampai dua bulan, Mbah Kholil memerintahkan membersihkan seluruh kamar para santri, termasuk kamar Mbah Manab. Ternyata di bawah tikar itu terdapat banyak uang . Uang itu tidak lain adalah pemberian santri-santri yang sering bertanya kepada beliau.

            Akhirnya Mbah Manab menangis. Dalam tangisnya itu beliau berkata, ”Ya Allah jangan-jangan ilmu dan amal-amal saya hanya diganti dengan uang ini saja.” Beliau menangis. Jadi mulai saat itu, Mbah Manab berhenti bekerja. Sampai akhirnya teman-temannya pulang semua. Dan Mbah Manab juga disuruh pulang oleh Mbah Kholil. Mbah Manab pulang ke rumah temanya di Magelang. Beliau tidak pulang ke rumah karena tidak ada tempat ngaji. Akhirnya beliau mampir-mampir ke teman-temannya. Setelah mampir-mampir, Mbah Kiai Hasyim yang sudah bermukim di Tebuireng, mendengar kabar tentang Mbah Manab dan menyuruh santri untuk mencarinya. Mbah Hasyim mengharapkan kedatangan Mbah Manab ke Tebuireng. Di Tebuireng, Mbah Manab diminta menbantu mengajar Nahwu, dan di situlah Mbah Manab itu dilamar oleh seorang kiai dari Kediri yang bernama Kiai Sholeh.

            Awalnya, Kiai Sholeh datang ke Bangkalan, ke Pondok Kiai Kholil. Kiai Sholeh itu adalah teman mondok Kiai Kholil di Sepanjang, Sidoarjo. Akhirnya beliau bersilaturrahmi ke Bangkalan dan ngobrol-ngobrol, ”Kang aku duwe anak perawan, enek ta santri?”(Saya punya anak gadis apa ada santri yang pas untuknya?) ”Wah, iyo… enek wonge wes tue. Saiki ono neng kono, neng Kiai Hasyim.” (Ada, orangnya lumayan tua, sekarang berada di tempat Kiai Hasyim). Setelah itu, Kiai Sholeh datang menemui Kiai Hasyim, dan mengatakan, ”Kulo sowan ke Kiai Kholil. Kulo takok, tirose mantu kulo neng kene….” Kiai Hasyim langsung memanggil Mbah Manab.” Aku celokno Kang Manab, ”kata Kiai Hasyim. Padahal pada waktu itu gadis yang dimaksud itu berumur 13 dan Mbah Manab berumur 40-an. Gadis itu akhirnya di-ijabi dan langsung dibawa. Satu tahun kemudian Mbah Manab sudah punya satu orang putra. Setelah itu, tiba-tiba pada suatu pagi Kiai Sholeh mengajak Mbah Manab ke Desa Lirboyo.

            Nah, Mbah Sholeh membeli pekarangan yang pernah ditawarkan oleh lurah Lirboyo. Setelah dilihat dan kok ternyata bagus, tanah itu dibeli. Salah seorang santri diajak untuk membawakan beras satu bakul, seekor ayam, dan selembar tikar.

Mbah Manab Selalu Berpegang Kuat pada Syariat

            Setelah kira-kira dua atau tiga minggu, anak dan istri Mbah Manab menyusul ke Lirboyo. Dan mulai dari sinilah muncul bibit-bibit Lirboyo. Tapi Mbah Sholeh tidak membiarkan begitu saja, sampai akhirnya sedikit demi sedikit dibikin mushalla. Dan akhirnya dibuatkan rumah walaupun Mbah Manab tidak pernah meminta itu. Selanjutnya datang 3, 4, sampai 5 orang murid. Akhirnya dibikinkan kamar bagi mereka dari kayu.

            Nah, kalau pesan Mbah Manab yang sering kita gunakan sebagai pedoman itu, Mbah Manab itu sangat memperhatikan sunah Rasul untuk hidup berkeluarga. Beliau sangat memperhatikan betul sunah Rasul. Putrinya itu, termasuk ibu saya itu, setelah berumah tangga di sini ya kadang-kadang 5 bulan atau setengah tahun ya datang ke sana sowan ke orang tua. Ketika sowan itu yang ditanya bukan oleh-olehnya, tetapi yang ditanyakan “Kuwi maeng koe pamit ambek bojomu…?(Apakah sudah izin sama suami?)”. ”Inggih kula pamit(Ya sudah izin)”. ”Pirang dino…?(Berapa hari?). Nanti kalau sudah lima hari, ayo aterno muleh (mari Aku antarkan pulang). Aku takut dituntut oleh Allah Swt. Punya anak tidak taat sama suaminnya.”

Santri Harus Jadi Paku

            Ketika ada santri yang hendak pulang, Mbah Manab pernah berpesan bahwa santri harus bisa jadi paku(kudu iso dadi paku). Jadi, paku itu gak perlu kelihatan. Yang penting paku itu bisa menghubungkan kayu yang satu dengan yang lain. Yang penting bangunan itu kokoh. Jadi, santri kalau sudah pulang harus benar-benar mengayomi masyarakat. Walaupun jasa kita tidak direken oleh masyarakat.

Mbah Manab Menghormati Tetangga

            Beliau kalau ngaji benar-benar ikhlas dan amaliah beliau selalu dijalankan dengan ikhlas. Mbah Manab adalah pribadi yang sangat menghormati tetangga. Ketika ada keperluan diluar, walaupun beliau sudah hendak berangkat, kalau tetangga sudah mengundang, maka beliau tidak jadi berangkat. Walaupun tetangganya itu tidak sembahyang, tapi tetangganya kok ngakunya Islam, tetap didatengi, tidak pernah milih-milih.

 

“Pesan Mbah Manab yang sering kita gunakan sebagai pedoman itu, Mbah Manab itu sangat memperhatikan sunah Rasul untuk hidup berkeluarga. Beliau sangat memperhatikan betul sunah Rasul.”

-KH. Abd Aziz Manshur-

Sumber: Buku Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo.

Previous Post
Next Post

0 comments: